Pembaca:Theindonesiantoday.com|Budaya|👁231
Theindonesiantoday.com~Banyak kali menulis dipahami sebagai ketrampilan yang hanya memakai kertas dan tinta. Sebenarnya menulis adalah upaya manusia untuk mengekspresikan gagasan dalam berbagai bentuk.
Perempuan Sabu menulis sejarah hidupnya, keluarga, dan kelompok/marga, bahkan masyarakat dan lingkungannya, melalui motif-motif sarung untuk perempuan dan selimut bagi laki-laki.
Motif tenunan menjadi simbol sejarah perempuan Sabu yang berisi banyak cerita tentang tuturan pengalamannya (tentang anak sulung dan anak bungsu, yang pertama kalinya melahirkan motif, dengan sifat-sifatnya, kehidupan seksnya, cara hidupnya, pandangan hidup, spirit hidupnya); Tentang hubungan masyarakat di masanya dengan lingkungan (sebagaimana tercermin dalam motif daun asam, sayur laut, warna tanah, binatang, pangan, rumah); dan seterusnya.
Penempatan warna dan motif menjadi dokumentasi sejarah tertentu yang diwariskan kepada generasi berikut melalui pengajaran perempuan kepada perempuan lainnya.
Ada tiga cara pengajaran ini diwariskan. Bisa pada saat kematian perempuan, perempuan tua yang memiliki pengetahuan mengenai motif tenun Klan sendiri menceritakan sejarah motif serta makna motifnya.
Cara kedua adalah selama proses menenun, guru pertama, yaitu bisa jadi seorang ibu, mengajar anak-anak perempuannya cara menenun, termasuk pilihan dan penempatan warna, motif kecil dan besar, sekaligus mengenai sejarah dan makna motif tersebut.
Cara ketiga adalah masing-masing orang sesuai dengan daya nalar dan kemampuannya sendiri mencoba untuk dapat belajar menangkap makna dari motif tenunan itu sendiri.
Perubahan budaya lisan ke budaya tulisan terkadang menyebabkan kita kehilangan kemampuan untuk membaca pesan asli dalam simbol sejarah perempuan melalui motif tenun. Tradisi penerusan budaya perempuan melalui cerita lisan mulai lemah, bahkan tuturan sekitar karya tenun ini hampir tidak lagi diminati oleh generasi kemudian.
Penciptaan pakaian oleh pabrik menggeser peranan tenunan dalam kehidupan keseharian masyarakat Sabu, sehingga nilai-nilai yang dipesankan dalam motif-motif tenunan terkesan mulai diabaikan. Kepintaran kadang lebih sering diukur berdasarkan tingkat pendidikan formal, termasuk kemampuan membaca dan menulis di atas kertas.
Kepintaran menenun dan memahami makna motif tidak lagi diakui sebagai salah satu bahagian sumber ilmu. Meskipun demikian, masih ada perempuan Sabu yang setia memelihara tradisi menenun sebagai warisan berharga dari para pendahulunya.
Salah satu dampak dari ini adalah di antara para perempuan Sabu mungkin ada yang mengerjakan karya ini hanya sebagai sebuah tugas rutin perempuan tanpa mengetahui/memahami nilai-nilai awal yang dianut para leluhur yang terdapat dalam setiap helai benang dan warnanya, atau yang terdapat dalam setiap baik motif besar dan motif kecil, atau tanpa memahami aturan-aturan terkait cara berpakaian menyangkut motif-motif yang ada untuk dapat disesuaikan dengan setiap kebutuhan sesuai nilai-nilai kesejarahan yang dimaksudkan oleh para leluhur.
Dinamika perubahan yang terjadi pada masyarakat Sabu, juga mulai berdampak pada beberapa pergeseran memaknai budaya Sabu pada generasi sekarang. Perubahan ini berdampaknya juga terhadap motif tenunan, yaitu 'paten' (dalam tanda kutip) masing-masing motif tidak lagi dilindungi. Di mana keturunan Klan perempuan sulung dan Klan si bungsu saja yang diizinkan memakainya pada jaman dahulu. Tetapi sekarang sudah dijual secara bebas dan dipakai pula secara bebas.
Orang juga sekarang menenun motif yang semestinya dipelihara itu tanpa izin dari keturunan yang menjadi pemilik asli motif tersebut. (Ini mungkin saja akibat dari pergeseran cara memaknai barang tenunan ini sekedar sebagai "fashion").
Supaya mendapatkan sedikit gambaran melalui sejarah tutur yang kemudian ditulis perempuan Sabu lewat motif-motif tenunan, maka mari kita coba telusuri sedikit sejarah tersebut berdasarkan yang bisa kita gali dari berbagai cerita dan referensi. Dan tentu saja, mohon dikoreksi oleh saudara-saudara yang lebih tahu dan paham soal-soal ini. Saya hanya sekedar kepengen berbagi berdasarkan apa yang sempat saya tahu ketika mendapat kesempatan berinteraksi dengan beberapa orang yang punya kemampuan menutur sesuai yang diriwayatkan oleh leluhur mereka. *******
Masyarakat Sabu mengenal genealogisnya menurut garis keturunan ibu dan ayah. Garis keturunan ayah disebut Klan (Udu) sedangkan garis keturunan ibu disebut mayang (Hubi).
Di Pulau Sabu awalnya ada lima wilayah pemerintahan adat. Dan secara kebiasaan adat, Klan laki-laki biasanya menguasai wilayah adat tertentu, sedangkan yang perempuan dapat melintasi batas wilayah melalui perkawinan. Dengan demikian motif-motif tenunan terdapat di seluruh wilayah adat Sabu dan tidak terbatas pada wilayah tertentu.******
Lewat sejarah tutur tentang orang Sabu, menceritakan asal muasal pemisahan garis keturunan perempuan Sabu dimulai pada masa MUDJI BABO dan adiknya, LOU BABO (generasi ke-46 dalam silsilah orang Sabu). Mereka inilah yang awal mula membuat kain tenunan Sabu.
Mudji Babo dikenal sebagai anak yang rajin bekerja dan menenun, sedangkan adiknya Lou, adalah anak yang manja. Dikisahkan, Mudji Babo sering memamerkan hasil tenunannya sambil mengolok-olok Lou Babo sebagai orang yang tidak bisa menghasilkan apa-apa. Lou Babo hanya bisa memilih dan mengumpulkan biji kapas dalam wadah-wadah anyaman.
Sekali waktu, sesuai tuturan, terjadi pertikaian besar di antara Mudji Babo dan Lou Babo sebab Lou jengkel dihina terus-terusan oleh kakaknya, sedangkan Mudji sangat cermburu terhadap adiknya, yang dimanja oleh orang tua mereka.
Akhirnya, orang tua mereka menyuruh mereka membagi peralatan tenun. Sejak itu Mudji dan Lou sepakat untuk membagi peralatan tenunan, yang dilakukan secara simbolis dengan pembagian sari nila untuk pewarnaan benang yang diambil dari satu periuk.
Mudji Babo sebagai yang kakak menimba air nila bagian atas dan terbanyak untuk dirinya sebab dianggap lebih banyak itu lebih baik, sedangkan air nila sisa dalam periuk untuk Lou Babo. Yang tidak disadari oleh Mudji Babo adalah air nila sisa yang ada di bawah periuk adalah yang paling bermutu sehingga Lou Babo yang diuntungkan dari sikap Mudji Babo.
Dan inilah awal mulanya yang menjadi dasar pembagian motif, sekaligus pembagian 'mayang' perempuan di Sabu.
Karena Mudji Babo mengambil air nila lebih banyak, maka dia beserta keturunannya kemudian disebut sebagai pemilik motif mayang besar (Hubi Ae). Lou Babo, karena memperoleh air nila sedikit, dengan seluruh keturunannya disebut sebagai pemilik motif mayang kecil (Hubi Iki).
Cerita ini kemudian menjadi dasar pembagian genealogis perempuan Sabu, yang disimbolkan melalui motif sarung.
Tradisi kepemilikan motif secara geneologis nampak pada peristiwa pernikahan dan kematian di Sabu pada masa lalu dan beberapa masih terus berlanjut hingga kini. Seorang perempuan dari mayang besar (Hubi Ae) atau mayang kecil (Hubi Iki), saat meninggal akan dipakaikan sarung dengan motif menurut asal genealogisnya sendiri.
Dalam perkembangannya, motif-motif tenunan ada yang diberi nama sesuai nama pembuatnya atau tokoh perempuan Sabu yang kebetulan dihormati oleh pembuatnya (misalnya, Motif Pudilla), nama yang terkait peristiwa sejarah tertentu (misalnya, Motif Piri Ga Lena), atau nama lingkungan alam (Motif Wo Boi).******************
Berikut ini coba ditelusuri sekilas beberapa motif buatan kedua kakak beradik tersebut di atas dan keturunannya serta cerita yang menyertai masing-masing motif tersebut.
Ada istilah bervariasi untuk menyebut pembagian motif tenun yang diklaim secara turun temurun sampai sekarang menurut garis keturunan kedua perempuan Sabu kakak-beradik tersebut.
■ Motif-Motif Keturunan Mudji Babo (Hubi Ae).
Mudji Babo dan keturunannya menulis sejarah hidup mereka melalui sarung yang biasa disebut sarung pukul (Ei Radja), sarung mayang besar (Hubi Ae), atau motif besar (Hebe Ae).
Motif–motif yang diciptakan dan dimiliki oleh keturunan Mudji Babo adalah:
1. MOTIF PUDILLA;
● Tentang Dilla Robo
Dilla dikisahkan sebagai tokoh legenda yang diberi nama lain sebagai nama pelindung dan pemberi kekuatan sesuai tradisi Sabu (ngara 'bhani) yaitu MARE GA.
Dia adalah putri semata wayang dari tiga laki-laki bersaudara anak dari pasangan Mudji Babo dan Robo Aba.
Dilla dipercayai sebagai seorang perempuan yang sangat cantik dan hidup poliandri di setiap wilayah adat di Sabu, termasuk kemudian katanya, (maaf) kawin dengan saudara laki-lakinya sendiri.
Dilla dituturkan memiliki kekuatan dengan rahasia yang mempesona, bahkan sulit untuk mengenal kepribadianya.
Dikisahkan suatu ketika Dilla menuju ke wilayah adat Dimu (bagian timur Pulau Sabu) untuk kawin lagi. Saat itu tiba-tiba turun hujan lebat. Oleh sebab itu banyak orang saat itu menafsirkan sebagai tanda alam tidak merestui, maka masyarakat memukul lesung-lesung sehingga orang bangun untuk menyelamatkan diri dengan melakukan ritual adat. Tetapi tragis, Dilla meninggal. Lesung lalu disimbolkan sebagai tubuh Dilla alias Mare Ga.
Kata Pudilla sendiri terdiri dari dua kata dasar dalam bahasa Sabu : "Appu" dan "Dilla". Appu artinya nenek dan Dilla adalah diambil dari nama Dilla Robo. Peringatan akan Dilla Robo dengan kehidupannya yang poliandri serta melakukan incest itu ditulis melalui Motif Pudilla (motif Nenek Dilla).
Motif ini terdiri dari dua pucuk rebung, gagang 'haik' (wadah minuman dari daun lontar), dan sebuah motif kecil di dalam motif besar.
Motif ini mempunyai pesan dan harapan kurang lebih sebagai berikut: dua pucuk rebung adalah peringatan agar anak-anak cucu tidak mengikuti cara hidup Nenek Dilla yang poliandri dan incest; gagang haik adalah ajakan untuk berpegang pada adat istiadat dan nilai-nilai luhur para leluhur; dan bunga kecil merupakan harapan agar generasi selanjutnya dari nenek Dilla menjadi orang-orang terpandang.
Konteks cerita tentang Dilla Robo ini diyakini terjadi di wilayah adat Habba (Seba saat ini). Kuburan Dilla Robo dipercayai berada di salah satu kampung (Rae) Do Kekoro.
2. Motif ROBO;
Motif Robo berbentuk segi empat. Motif sarung ini bermakna sebagai senjata pelindung dalam perjalanan, seperti peristiwa pernikahan di mana suami isteri akan keluar dari keluarga masing-masing menuju rumah tangga baru. Juga saat kematian, motif ini bermakna sebagai "pelindung" selama perjalanan kembali ke dalam persekutuan para leluhur. Motif ini dipercayai sebagai motif pusaka dalam genealogi Dilla Robo.
3. Motif Dula;
Motif D'ulla dilestarikan sebagai motif selimut asli bagi laki-laki, disebut hi’ji, yang berfungsi sebagai motif dalam pakaian jabatan pimpinan adat, juga untuk upacara, pernikahan, dan kematian, serta pakaian harian. Mengapa Motif D’ulla dikhususkan untuk selimut laki-laki belum diketahui secara pasti. Memang Motif Du’la juga ada pada sarung perempuan. Laki-laki tidak memiliki motif khusus seperti pada perempuan. Du'la adalah wadah yang dibuat dari dahan pohon pinang dan campuran tanah liat yang berfungsi sebagai tempat merendam akar-akar pohon (obat tradisional) untuk memandikan bayi yang baru lahir. Wadah tersebut juga dipakai sebagai tempat air untuk ritus pemandian anak-anak secara adat (d’abba). Pengalaman pemeliharaan bayi, manfaat pohon pinang dan tanah liat bagi keluarga-keluarga dan masyarakat saat itu, serta ritus pengesahan anak-anak menjadi warga adat yang syah melalui ritus d’abba diceritakan melalui motif ini.
4. Motif Kobe Morena;
Motif ini berkisah tentang sejarah hidup perempuan bernama Dilla Tede. Sejarah hidup ini menjadi sumber inspirasi bagi Dilla Tede dengan menciptakan sebuah motif yang diberi nama Kobe Morena. Motif ini menjadi buku sejarah tentang misi Dilla Tede ke Kota Ga dan hanya boleh dipakai oleh keturunan perempuan dari Dilla Tede.
Dilla Tede dikisahkan menikah dengan tukang perahu namanya Radja Bangngu. Dilla Tede pada suatu hari berangkat ke Kota Ga (menurut beberapa sumber, letaknya... katanya di sekitar Pulau Solor) dengan perahu yang diberi nama Kowa Deo. Tiba di Kota Ga, Dilla Tede menghadap raja dan memperkenalkan dirinya dengan nama Ga Lena (seorang putri dari Kerajaan Ga) lewat ungkapan syair kuno : "Ga Lena Uli Wo Helaggi Horo Made De Waru (yang kurang lebih artinya: putri Raja Ga yang datang dari negeri bulan penuh lingkaran cahaya)".
Dia melaporkan tentang bencana perang yang terjadi di negerinya dengan menunjukkan tulang-tulang kuda sebagai tulang manusia. Raja peduli dan memberi dukungan kepadanya. Dilla Tede diberi hadiah sebuah kotak pusaka. Usai percakapan dengan sang raja di Kota Ga, ia kembali ke Sabu dengan dukungan perlengkapan perang berupa tujuh buah kapal, satu bendera, serta senjata lainnya.
Setibanya di Sabu, Dilla Tede kemudian mengibarkan bendera tersebut di tengah Klan Nahoro di Liae; sampai sekarang tempat itu dinamai kibar bendera (halla padji).
5. Motif Piri Ga Lena;
Dila Tede, alias Ga Lena, dikenang sebagai perempuan yang bercahaya seperti Bani Weo (gambaran untuk bulan di mana dalam pandangan seolah-olah ada nenek yang memintal benang, sesuai beberapa cerita rakyat yang berkembang). Dan seperti itulah Dilla Tede di-metafora-kan oleh anak cucunya. Untuk mengenang tokoh legenda Dilla Tede sebagai tokoh 'terang bercahaya', anak cucu Dilla Tede menciptakan motif baru yang disebut Motif Piri Ga Lena (piringnya Ga Lena, alias Dilla Tede). Kemungkinan piring yang dibawa oleh Dilla Tede dari negeri seberang dijadikan inspirasi untuk motif piring bagi anak cucunya, yang dalam bahasa daerah diungkapkan sebagai Motif Piri.
6. Motif Kobe Mola'i;
Di wilayah Mehara, bagian barat pulau Sabu, ada motif lain yang juga mengenang Dilla Tede, disebut Motif Kobe Mola'i yang terdiri dari ranting-ranting hijau.
Jadi sejarah hidup tokoh Dilla Tede diceritakan dalam tiga buah motif, yakni Motif Kobe Morena, Motif Piri Ga Lena, dan Motif Kobe Mola'i.
7. Motif Kae Hoge;
Bahwa dahulu kala ada dua perempuan bersaudara, yakni Pi’i Rebo dan Dilla Jingi meski berlainan ayah. Ibu mereka ialah Wanynyi Daku. Ia menikah dengan ayah Pi’i, yakni Rebo Tari. Setelah Rebo Tari meninggal, ibunya menikah dengan seorang laki-laki lain, yakni Jingi Tari. Dari perkawinan itu lahirlah Dilla Jingi yang kemudian melahirkan anak perempuan lagi, bernama Meko.
Mengenang asal usul mereka dari satu leluhur, mereka menciptakan sebuah motif yang disebut Motif Kae Hoge. Motif ini berupa dua ekor burung yang sedang berdiri pada sebuah wadah dengan papan dan berdiri tegak punggungnya.
8. Motif Tutu.
Motif Tutu menceritakan tentang tokoh perempuan Dina Riwu yang berasal dari Mehara (ujung barat pulau Sabu). Dina akan menikah dengan Jami Lobo di Seba, tetapi karena sakit, ditunda pernikahannya. Setelah sembuh, Dina tidak menikahi Jami Lobo, tetapi menikah dengan seorang fetor dari Menia, yakni Tero Weo. Mendengar hal itu, Jami Lobo membuat festival tarian (ledo). Di acara itu Jami Lobo bertemu dengan Dina. Hal ini menimbulkan, bentrokan kecil. Sindiran tentang kelakuan Jami Lobo terhadap Dina ditulis dalam Motif Tutu yang berupa ayam dan cermin.
9. Motif Wo Kelakku Kaji Ru Helagi
Motif ini berkisah tentang manfaat daun asam sebagi rempah-rempah dan jamu. Daun asam digunakan oleh perempuan Sabu sebagai bahan perawatan tubuh dan kecantikan. Motif ini tidak diketahui siapa yang menciptakannya, tapi masih dalam lingkungan mayang Muji Babo (mayang besar).
10. Motif Wo kelakku Keware Wa
Motif ini mirip dengan motif Ru Helagi kecuali simpul motifnya yang berbeda.
11. Motif Kae Kuhi
Motif ini berupa mata kunci yang saling bergandengan. Motif ini merupakan peringatan bahwa setiap orang tidak bisa memasuki rumah yang terkunci tanpa kuncinya. Apakah motif ini dapat diduga sebagai catatan tentang perkenalan/pertemuan masyarakat Sabu dengan teknologi kunci??? Belum pasti...
12. Motif Wo Kelakku Wo Pudi
Motif ini berupa daun daun bergantungan. juga belum diketahui penciptanya dan makna dari simbol daun ini.
■ Motif-Motif Keturunan Lou Babo (Hubi Iki).
Dalam kisah perempuan Sabu, motif sarung si bungsu Lou Babo ini lebih melambangkan perlindungan. Tempat perlindungan itu dapat dilihat dalam karya nyata dari rumah asli Sabu yang berbentuk perahu. Ini menjadi cikal bakal ide pembuatan rumah Sabu berbentuk perahu. Bagi orang Sabu, rumah adalah karya fisik buatan laki-laki dan perempuan. Perempuan [yang keturunan Lou Babo] menulis seluruh gagasan, pengalaman, dan sejarah mereka dalam sarung Ei Ledo melalui motif bunga karang dan lingkaran elips.
1. Motif Wo Boi; dan
2. Motif Keware Hawu;
Motif ini, bercerita banyak hal dari fakta-fakta dan pesan pengalaman hidup leluhur orang Sabu. Misalnya, perempuan dari mayang ini menulis bahwa leluhur mereka dulu tinggal di laut, lalu mencapai daratan dan membuat rumah tinggal.
Perahu di lautan sebagai rumah tinggal menjadi sumber inspirasi ketika mereka membuat rumah di daratan. Itulah sejarah yang diceritakan dua motif ini.
Awalnya para leluhur diceritakan tinggal di lautan tanpa rumah. Meski demikian mereka kehidupan mereka diibaratkan laksana bunga karang (Wo Boi) yang bernaung di balik karang laut yang kuat.
Ini menjadi sumber inspirasi pembuatan motif Wo Boi.
Saat mereka beralih hidup di daratan, mereka mulai mencari dan membuat tempat untuk tinggal. Pencarian bentuk tempat tinggal itu dinyatakan dalam bentuk rumah yang dikenal dengan lingkaran elips Sabu (Wo Keware Hawu).
Motif Wo Boi dan Motif Keware Hawu menjadi cara bagi perempuan Sabu untuk mengenang sejarah perjalanan dari lautan sampai leluhur mereka menetap di Pulau Sabu dan membangun rumah tinggal.
3. Motif Putenga;
Tenga Ga adalah tokoh legenda. Motif ini bercerita tentang perkelahian antara dua suami dari Tenga Ga dan saudara laki-lakinya. Perkelahian dan kematian yang terjadi akibat ucapan dari Tenga Ga yang memancing kemarahan dari saudara laki-lakinya sendiri dengan suaminya. Panas hati, peperangan, dan kematian menjadi catatan/pesan yang disampaikan dalam motif ini.
Peringatan akan leluhur Tenga Ga ini melahirkan Motif Kekedi (alat tenunan untuk menghaluskan kapas) sebagai lambang pertimbangan. Motif Kekedi adalah motif untuk mengenang tokoh leluhur Tenga Ga serta peristiwa tragis yang menimpa dia dan keluarganya. Konteksnya di wilayah adat Habba (Seba), motif ini hanya boleh dipakai oleh keturunan perempuan dari tokoh Tenga Ga.
4. Motif Jawu [Motif Wo Kelakku dan Peeki Jawu?];
Motif ini bercerita tentang tokoh perempuan yang cantik bernama Jawu. Sang ibu karena tugas mengasuh Jawu tidak dapat bersama suaminya bekerja di ladang. Suaminya kemudian marah pada sang istri karena semua waktu dan perhatian hanya dicurahkan pada si anak. Karena tak tahan dengan omelan sang suami, akhirnya sang ibu kemudian meninggalkan anaknya di rumah sendirian, lalu ke ladang mengikuti suami.
Ketika anak itu ditinggal sendirian di rumah kemudian dalam legendanya dikisahkan datanglah dewa penolong, yaitu (katanya) nenek matahari, mengambil dan membawanya ke singgasananya dan memelihara Jawu.
Ketika Jawu sudah besar, ia kemudian dinikahkan dengan tokoh legenda bernama Kelogo Liru. Usai melahirkan anak-anak dengan Kelogo Liru, Jawu turun ke bumi dan tinggal di atas sebuah pohon heliru.
Menurut legenda, Jawu kemudian menikah beberapa kali, baik di Mehara (ujung barat Pulau Sabu) dan juga di Sabu Timur. Tokoh adat yang menikahinya di Sabu Timur kemudian membuat rumah khusus bagi Jawu yang diberi nama Kopo Jawu, artinya rumah Jawu. Rumah khusus itu dibuat untuk memenuhi keinginan Jawu yang tidak mau tinggal serumah dengan suaminya, Bella Hina.
Kisah Jawu ditulis pada Motif Wo Kelakku dan Motif Peeki Jawu. Motif tentang kehidupan Jawu dalam cerita legenda orang Sabu.
5. Motif Jingi Wiki;
Motif ini menceritakan tentang tokoh perempuan bernama Nida. Nida ini dimitoskan sebagai perempuan magis dan gaib. Kekuatan magisnya dapat memisahkan istri-istri dari para suaminya.
Bila tokoh ini hadir dalam sebuah rumah/keluarga, maka sang istri akan keluar meninggalkan.....
(Bersambung)
Comments
Post a Comment